Rapat Paripurna DPR, Selasa 23 Juni 2015, menyetujui Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP) yang popular dengan sebutan dana aspirasi. Persetujuan Paripurna DPR itu langsung memancing pro kontra. Selain reaksi dari publik, Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Andrinof Chaniago serta Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, juga angkat bicara.
Wapres dan ketiga menteri itu cenderung menolak dana untuk membiayai UP2DP itu. Lantas, bagaimana sikap dan posisi Presiden Jokowi? Sejauh ini, belum ada pernyataan resmi dari Presiden tentang dana untuk UP2DP itu. Menteri Pratikno dan Menteri Andrinof memang sudah membuat pernyataan tentang kecenderungan Presiden menolak pengalokasikan dana aspirasi.
Menteri Pratikno hanya mengutip imbauan Presiden yang minta semua pihak untuk prihatin dengan kondisi masyarakat saat ini. Penegasan ini diartikan sebagai sinyal penolakan Presiden terhadap dana aspirasi usulan DPR itu.
Tetapi, baik penjelasan Pratikno maupun pernyataan Menteri Adrinof belum bisa dijadikan pegangan, karena publik sudah tahu bahwa presiden sering berbeda pendapat dengan Wapres maupun para menteri. Demi kejelasan masalah ini, Presiden Jokowi harus memperjelas sikap dan posisinya. Karena itu, semua pihak hendaknya menunggu kejelasan dari Presiden.
Belum finalnya sikap Presiden pun tercermin dari pernyataan Menteri Keuangan yang coba mengambil jalan tengah. Menteri Bambang menyatakan bahwa pemerintah akan mengambil sikap setelah mempelajari proposal dana UP2DP.
Pemahaman tentang manfaat dana aspirasi sudah melenceng terlalu jauh. Agenda UP2DP bagi setiap anggota DPR adalah tindak lanjut sekaligus pelaksanaan dari UU MD3. Lahirnya UP2DP itu sendiri menjadi kehendak pasal 78 dan pasal 80 UU No.17/2014 itu. Pasal 78 UU MD3 menyangkut sumpah jabatan anggota dewan. Bunyinya, “Bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan NKRI.”
Sedangkan pasal 80 huruf (J) UU yang sama menetapkan bahwa anggota DPR berhak mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan. Konsekuensi pasal ini tentu keharusan pemerintah mengalokasikan dana UP2DP itu.
Selain pengawasan, persetujuan anggaran, dan pembuatan undang-undang atau legislasi sebagai tugas pokok dan fungsi (tupoksi), salah satu kewajiban lain dari anggota DPR adalah mendengar dan memperjuangkan aspirasi rakyat kepada Pemerintah.
Seperti halnya pejabat pemerintah atau para menteri, setiap kali melakukan kunjungan ke daerah pemilihan, semua anggota DPR pasti pernah menerima keluhan dan permintaan dari masyarakat. Keluhan dan permintaan masyarakat setempat itu selalu dituangkan dalam bentuk proposal.
Tidak berlebihan atau mengada-ada, muatan proposal itu selalu berkait dengan kebutuhan dasar masyarakat setempat, seperti perbaikan jalan atau jembatan, renovasi bangunan sekolah, kebutuhan air bersih, problem jaringan listrik hingga pusat layanan kesehatan.
Proposal dengan muatan seperti itu dititipkan ke anggota DPR karena masyarakat sadar betul mereka tidak punya akses untuk bersuara langsung kepada pemerintah. Betul bahwa tak jauh dari masyarakat setempat, ada pemerintah daerah atau provinsi. Masalahnya, pemerintah setempat begitu sering meremehkan keluhan atau permintaan masyarakat.
Jangankan di pelosok daerah, masyarakat perkotaan sekali pun sering mengeluhkan perilaku pemerintah daerah yang bersikap masa bodoh dengan keluhan dan permintaan masyarakat. Tak usah jauh-jauh mencari perbandingan; masyarakat yang bermukim di Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi nyatanya begitu sering mengecam pemerintah daerahnya karena ruas jalan yang sudah rusak selama bertahun-tahun tak pernah diperbaiki.
sumber : Pribuminews
Tidak ada komentar:
Posting Komentar